Sabtu, 30 Juli 2011

wahabi vs sunny

Imam Ibn Abidin (Ulama besar madzab Hanafi ): Kaum Wahabi adalah khawarij SESAT…!!!!

Salah Seorang Ulama Terkemuka Dalam Madzhab Hanafi; Imam Ibn Abidin, MENGATAKAN bahwa Kaum Wahabi SESAT…!!!! Ini Bukti Scan dari karya Ibn Abidin al-Hanafi dari karyanya berjudul Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar. Masih kurang apa lagi….!!!????? Terjemah: {{{{{ Penjelasan Tentang Pangikut Muhammad ibn Abdil Wahhab/alias Wahabi sebagai kaum Khawarij di zaman kita}}}}} “……. seperti yang [...]

Ibnu Hajar al-Haitami; Ulama Terkemuka Madzhab Syafi’i- Mengatakan: “IBNU TAIMIYAH SESAT” (Menohok Wahabi)

Ibnu Hajar al-Haitami; Ulama Terkemuka Madzhab Syafi’i, Mengatakan: “IBNU TAIMIYAH SESAT” (Menohok Wahabi) Kitab Karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami berjudul Hasyiyah al-Idlah Ala Manasik al-Hajj Wa al-’Umrah (Kitab Penjelasan terhadap Karya Imam an-Nawawi) Bab VI: Menjelaskan tentang ziarah ke makam tuan kita dan baginda kita Rasulullah (Shallallahu Alyhi Wa Sallam) dan segala permasalahan yang terkait [...]

kesesatan wahhaby/salafy palsu mengenai Amalan/ Ibadah di Kuburan

Kesesatan dan kedustaan kembali dihembuskan oleh golongan wahhaby/ salafy palsu mengenai larangan semua bentuk amalan / ibadah dikuburan. Berikut ini adalah Hujjah ahlusunnah atas subhat yang di hembuskan oleh musuh-musuh Allah yang menamakan diri mereka Salafy (palsu/ wahhaby) dalam majalah mereka : majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M . Kedustaan dan fitnah yang dihembuskan oleh musuh [...]

Bukti Al-bany Wahhaby Tidak percaya Izrail Malaikat Maut

Albany seorang ajam jahil yang diberi gelar kehormatan sebagi muhhadis oleh kaum wahhaby najd lagi lagi buat ulah. Tidak puas dengan merusak kurang lebih 1200 hadis, dengan mendoifkan hadis bukhary muslim dan sebaliknya meshahihkan haids hadis palsu dean doif. kini albany dan pengikutnya kembali menentang ijma ulama ahlusunnah dengan mengatakan bahwa : “Malaikat maut bukan [...]

Mengenal Kesesatan Ajaran Wahhabiyyah /salafy palsu

************** بسم الله الرحمن الرحيم نحمده ونصلى على رسوله الكريم AJARAN AQIDAH WAHHABIYYAH: SATU PENGAMATAN AWAL DALAM KONTEKS FAHAM ILMU AHLISSUNNAH WALJAMAAH[1] OLEH: MUHAMMAD ’UTHMAN EL-MUHAMMADY[2] Dalam nota ringkas ini akan dibicarakan beberapa perkara pokok berkenaan dengan ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab khususnya yang menyentuh konsep tauhid dan syahadah serta implikasi-implikasi daripada ajaran yang demikian [...]

Makna Nama Allah “al-‘Alyy” Dan Kata“Fawq” Pada Hak Allah

Bantahan Terhadap Kaum Anti Takwil [ALLAH MAHA SUCI DARI TEMPAT DAN ARAH; Mewaspadai Ajaran Wahhabi] Makna Nama Allah “al-‘Alyy” Dan Kata“Fawq” Pada Hak Allah Kata “fawq” dalam makna zahir berarti “di atas”, dalam penggunaannya kata fawq ini tidak hanya untuk mengungkapkan tempat dan arah atau makna indrawi saja, tapi juga biasa dipakai dalam penggunaan secara [...]

Tafsir Imam al-Qurthubi; Makna “Fawq” Dan Makna “al-Alyy” Pada Hak Allah Bukan Dalam Pengertian Tempat Dan Arah

Dari Tafsir Imam al-Qurthubi; Makna “Fawq” Dan Makna “al-Alyy” Pada Hak Allah Bukan Dalam Pengertian Tempat Dan Arah Sunday, October 25, 2009 at 5:14am Ahli tafsir terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imâm al-Mufassir Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya yang sangat terkenal; al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut: “Nama Allah “al-‘Aliyy” adalah dalam [...]

WAHAI KAUM WAHHABI, Mari Bertaubat ! (Dalil shalawatan – Haul – dzikir jamaah – ziarah kubur)

WAHAI KAUM WAHHABI, AYO … ! WAHAI KAUM WAHHABI, AYO … ! Luthfi Bashori * Anda tidak suka ziarah kubur? Itu maklum, karena anda tidak senang kepada Nabi SAW yang memerintahkan : Kuntu nahaitukum `an ziyaaratil qubuuri, alaa fazuuruuha (dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tetapi kini berziarah kuburlah. HR. Muslim) Berziarah kubur ternyata bukan [...]

Bid’ah Dholalah, Apakah Itu ?

Bid’ah Dholalah, Apakah Itu ? Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan arti bid’ah secara bahasa adalah : sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah [...]

dakwah rosululloh

A.Latar belakang
Dikota mekkah telah kita ketahui bahwa bangsa quraisy dengan segala upaya akan melumpuhkan gerakan Muhammad Saw. Hal ini di buktikan dengan pemboikotan yang dilakukan mereka kepada Bani Hasyim dan Bani Mutahlib. Di antara pemboikotan tersebut adalah:
1.Memutuskan hubungan perkawinan
2.memutuskan hubungan jual beli
3.memutuskan hubungan ziarah dan menziarah dan lain-lain
Pemboikotan tersebut tertulis di atas kertas shahifah atau plakat yang di gantungkan di kakbah dan tidak akan di cabut sebelum Nabi Muhammad Saw. Menghentikan gerakannya.
Nabi Muhammad Saw. Merasakan bahwa tidak lagi sesuai di jadikan pusat dakwah ialam beliau bersama zaid bin haritsah hijrah ke thaif untuk berdakwah ajaran itu ditolak dengan kasar. Nabi Saw. Di usir, di soraki dan dikejar-kejar sambil di lemparidengan batu. Walaupun terluka dan sakit, Beliau tetap sabar dan berlapang dada serta ikhlas. Meghadapi cobaan yang di hadapinya.
Saat mengahadapi ujian yang berat Nabi Saw bersama pengikutnya di perintahkan oleh ALLaH SWT untuk mengalami isra dan mi’raj ke baitul maqbis di palestina, kemudian naik kelangit hingga ke sidratul muntaha.
Kejadian isra dan mi’raj terjadi pada malam 17 rajab tahun ke-11 dari kenabiannya (sekitar 621 M) di tempuuh dalam waktu satu malam.
Hikmah Allah Swt. Dari peristiwa isra dan mi’raj antar lain sebagai berikut.
1. Karunia dan keistimewaan ersendiri bagi Nabi saw.
2. Memberikan penambahan kekuatan iman keyakinan beliau sebagai rasul
3. Menjadi ujian bagi kaum muslimin sendiri.
Berita ini menjadi olokan kaum Quraisy kepada Nabi saw. Mereka mengira Nabi saw telah gila. Orang pertama memperceyainya adlah Abu Bakar sehingga diberi gelar As Siddiq.
B.Hijrah Nabi Muhammad saw Ke Yatsrib (Madinah)
Faktor yang menorong hijrahnya Nabi saw
1. tanda-tanda baik pada perkembangan Islam di Yatsrib, karena:
1.pada tahun 621 M telah dating 13 orang penduduk Yatsrib menemuiNabi saw di bukit Akabah.
2.pada tahun berikutnya, 622 M datang lagi sebanyak 73 orang Yatsrib ke Mekkah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj
2. Rencana pembunuhan Nabi saw oleh kaum Quraisy yang hasil kesepakatannya sbb:
1.Merea sangat khawatir jika Muhammad dan pengikutnya telah berkuasa di Yatsrib.
2.Membunuh Nabi saw sebelum beliau ikut pindah ke Yatsrib.
3. Rencana pembunuhan Nabi saw:
1.Setiap suku Quraisy mengirimkan seorang pemudah tangguh.
2.Mengepung rumah Nabi saw dan akan membunuhnya saat fajar.
Rencana-rencana tersebut diketaui oleh Nabi saw dan parapemuda qurasy terkacoh. Mereka mengejar dan enjelajahi seluruh untuk mencari Nabi saw tetapi hasilnya nihil. Kemudian Nabi bersama pengikutnya melanjutkan perjalanannya menelusuri pantai laut mera
C.Akhir Periode Dakwah Rasululah di Kota Mekkah
Dengan berpindahnya Nabi saw dari Mekkahmaka berakhirlah periode pertama perjalanan dakwah beliau di Mekkah. Beliau berjuang antara hidup dan mati menyerukan agama Islam di tengah masyarakat Mekkah dengan jihad kesabaran, harta benda, jiwa dan raga.
Sebelum memasuki Yatsrib, Nabi saw singgah di Quba selama 4 hari beristirahat, Nabi mendirikan sebuah masjid quba dan masjid pertama dalam sejarah Islam. Tepathari Jumat 12 Rabiul awal tahun 1 hijrahbertepatan 24 September 6 M, Nabi saw mengadakan shalat Jumat yang pertama kali dalam sejarah Islam dan Beliaupun berkhotbah di hadapan muslimin Muhajirin dan Anshar.
D.Dakwah Rasulullah Periode Madinah
Penduduk Madinah terb\diri dari 2 golongan yang berbeda jauh, yaitu:
1.Golongan Arab yang berasal dari selatan yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj
2.Golongan yahudi, yaitu orang-orang yang berasal dari utara (Palestina)
Dengan hijrahnya kaum muslimin, terbukalah kesmpatan bagi Nabi saw untuk
mengatur strategi membentuk masyarakat Islam yang bebas dari ancaman musuh baik dari luar maupun dari dalam.
E.Substansi dan Strategi Dakwah Rasulullah saw Periode Mainah
Adapun substansi dan strategi dakah Rasulullah saw antara lain:
1.Membina masyarakat Islam melalui pertalian persaudaraan antara kaum Muhajjirin dengan kaum Anshar
2.Memellihara dan mempertahankan masyarakat Islam
3.Meletakkan dasar-daar politik ekonomi dan social untk masyarakat Islam
Dengan diletakannya dasar-dasar yang berkala ini masyarakat dan pemerintahan Islam dapat mewujudkan nagari “ Baldtun Thiyibatun Warabbun Ghafur “ dan Madinah disebut “ Madinatul Munawwarah ”.
F.Hikmah Sejarah Dakwah Rasululah saw Periode Madinah
Hikmah sejarah dakwah Rasulullah saw antara lain:
1.Dengan persaudaraan yang telah dilakukan oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshardapat memberikan rasa aman dan tentram.
2.Persatuan dan saling menghormati antar agama
3.Menumbuh-kembangkan tolong menolong antara yang kuat dan lemah, yang kaya dan miskin
4.Memahami bahwa umat Islam harus berpegang menurut aturan Allah swt
5.memahami dan menyadaribahwa kita wajib agar menjalin hubungan dengan Allah swt dan antara manusia dengan manusia
6.Kita mendapatkan warisan yang sangat menentukan keselamatan kita baik di dunia maupun di akhirat.
7.Menjadikan inspirasi dan motivasi dalam menyiarkan agama Islam
8.Terciptanya hubungan yang kondusif
G.Sikap dan Perilaku yang Mencerminkan Dakwah di Madinah
Sikap dan perilaku yang menceinkan dakwah Rasulullah saw antara lain:
1.mengimani dengan sebenar-benarnya bahwa Muhammad saw adalah rasul dan nabi penutup para nabi
2.Mencintai Rasullulah saw
3.mensosialisasikan sunnah Nabi saw
4.Gemar dan senang membaca buku sejarah nabi-nabi
5.Memelihara silaturahmi dengan sesama manusia
6.Berkunjung ke tanah suci Mekkah atau Madinah untuk melihat/ menapak tilas perjuangan Nabi Muhammad saw
7.Mempelajari dan memahami Al Quran dan hadis-hadisnya
8.Senantiasa berjihad dijalan Allah
9.Aktif/ikut serta dalam acara kepanitiaan untuk memperingati hari-hari besar Islam
10.Merawat dan melestarikan tempat ibadah (masjid)
11.Menekuni dan mempelajari warisan Nabi saw
H. Dakwah Rasulullah Peiode Madinah Diterapkan Oleh Pelaku Bisnis
1.Selain sebagai pelaku bisnis, ia mempunyai kewajiban dalam berdakwah menyiarkan islam yang aman, damai dan tidak melanggar perjanjian bisnis yang islami.
2.Perjanjian dapat dilakukan antara pebisnis yang berlainan agama
3.Sesama pebisnis muslim, baik sebagai bos maupun karyawan, dapat mengambil hikmah dai konsep muhajrin sebagi pendatang, dan anshar sebagi tuan rumah (penolong).
4.Inti dari pengembangan usaha, apapun bidangnnya harus mengikuti usaha yang islami tidak mengurangi takaran, tidak merusak dan tidak merampas hak orang lain.

( أنّ الرضا بالكفر كفر والمعاصي معصية )

“Annar Redha Bil Kufri Kufrun Wal Ma^asiy Ma^siatun”
Bahawa REDHA dengan KUFUR, adalah KUFUR. Dan, REDHA dengan MAKSIAT, adalah MAKSIAT.

Membongkar Kedok Jamaah Tabligh

Jamaah Tabligh tentu bukan nama yg asing lagi bagi masyarakat kita terlebih bagi mereka yg menggeluti dunia dakwah. Dengan menghindari ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yg sering dituding sebagai ‘biang pemecah belah umat’ membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima masyarakat berbagai lapisan.
Bahkan saking populer bila ada seseorang yg berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yg sama dgn mereka biasa akan ditanya; ”Mas Jamaah Tabligh ya?” atau “Mas karkun ya?” Yang lbh tragis jika ada yg berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan mereka kemudian langsung dihukumi sebagai Jamaah Tabligh.
Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Lalu bagaimanakah hakikat jamaah yg berkiblat ke India ini? Kajian kali ini adl jawabannya.
Pendiri Jamaah Tabligh
Jamaah Tabligh didirikan oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yg berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma’il Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi. Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah sebuah desa yg terletak di daerah Sahranfur. Sementara Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli ibukota India. Di tempat dan negara inilah markas gerakan Jamaah Tabligh berada. Adapun Ad-Diyubandi adl nisbat dari Diyuband yaitu madrasah terbesar bagi penganut madzhab Hanafi di semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah yg didirikan oleh Mu’inuddin Al-Jisyti.
Muhammad Ilyas sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H dgn nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada tanggal 11 Rajab 1363 H.
Latar Belakang Berdiri Jamaah Tabligh
Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan ”Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Meiwat jauh dari ajaran Islam berbaur dgn orang2 Majusi para penyembah berhala Hindu bahkan bernama dgn nama-nama mereka serta tdk ada lagi keislaman yg tersisa kecuali hanya nama dan keturunan kemudian kebodohan yg kian merata tergeraklah hati Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikh dan Syaikh tarekat seperti Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At-Tahanawi utk membicarakan permasalahan ini. Dan ia pun akhir mendirikan gerakan tabligh di India atas perintah dan arahan dari para syaikh tersebut.”
Merupakan suatu hal yg ma’ruf di kalangan tablighiyyin bahwasa Muhammad Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergian ke makam Rasulullah  .
Markas Jamaah Tabligh
Markas besar mereka berada di Delhi tepat di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind sebuah desa di kota Lahore . Markas ketiga berada di kota Dakka . Yang menarik pada markas-markas mereka yg berada di daratan India itu terdapat hizb yg berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas nama Allah yg agung dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dlm bentuk segi empat yg dikelilingi beberapa kode yg tdk dimengerti.
Yang lbh mengenaskan mereka mempunyai sebuah masjid di kota Delhi yg dijadikan markas oleh mereka di mana di belakang terdapat empat buah kuburan. Dan ini menyerupai orang2 Yahudi dan Nashrani di mana mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang2 shalih dari kalangan mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah  melaknat orang2 yg menjadikan kuburan sebagai masjid bahkan mengkhabarkan bahwasa mereka adl sejelek-jelek makhluk di sisi Allah .
Asas dan Landasan Jamaah Tabligh
Jamaah Tabligh mempunyai suatu asas dan landasan yg sangat teguh mereka pegang bahkan cenderung berlebihan. Asas dan landasan ini mereka sebut dgn al-ushulus sittah atau ash-shifatus sittah dgn rincian sebagai berikut:
Sifat Pertama: Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah
Mereka menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan keyakinan yg rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yg benar tentang dzat Allah bahwasa Dialah Sang Pencipta Maha Pemberi Rizki Maha Mendatangkan Mudharat dan Manfaat Maha Memuliakan dan Menghinakan Maha Menghidupkan dan Mematikan”. Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah semata .
Padahal makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yg berhak diibadahi melainkan Allah.” . Adapun makna merealisasikan adl merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah ar-rububiyyah dan al-asma wash shifat . Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid arti membersihkan dan memurnikan tauhid dari kesyirikan bid’ah dan kemaksiatan.”
Oleh krn itu Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara ‘keistimewaan’ Jamaah Tabligh dan para pemuka adl apa yg sering dikenal dari mereka bahwasa mereka adl orang2 yg berikrar dgn tauhid. Namun tauhid mereka tdk lbh dari tauhid kaum musyrikin Quraisy Makkah di mana perkataan mereka dlm hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah saja serta kental dgn warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid uluhiyyah dan ibadah mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dlm hal ini mereka termasuk golongan orang2 musyrik. Sedangkan tauhid asma wash shifat mereka berada dlm lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah dan kepada Maturidiyyah mereka lbh dekat”.
Sifat Kedua: Shalat dgn Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri
Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat kewajiban-kewajiban sunnah-sunnah hukum sujud sahwi dan perkara fiqih lain yg berhubungan dgn shalat dan thaharah. Seorang tablighi tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya segelintir dari mereka.” .
Sifat ketiga: Keilmuan yg Ditopang dgn Dzikir
Mereka membagi ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail menurut mereka adl ilmu yg dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adl ilmu yg dipelajari pada ritus khuruj dan pada majlis-majlis tabligh. Jadi yg mereka maksudkan dgn ilmu adl sebagian dari fadhail amal serta dasar-dasar pedoman Jamaah seperti sifat yg enam dan yg sejenis dan hampir-hampir tdk ada lagi selain itu.
orang2 yg bergaul dgn mereka tdk bisa memungkiri tentang keengganan mereka utk menimba ilmu agama dari para ulama serta tentang minim mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha utk menghalangi orang2 yg cinta akan ilmu dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya.
Sifat Keempat: Menghormati Setiap Muslim
Sesungguh Jamaah Tabligh tdk mempunyai batasan-batasan tertentu dlm merealisasikan sifat keempat ini khusus dlm masalah al-wala dan al-bara . Demikian pula perilaku mereka yg bertentangan dgn kandungan sifat keempat ini di mana mereka memusuhi orang2 yg menasehati mereka atau yg berpisah dari mereka dikarenakan beda pemahaman walaupun orang tersebut ‘alim rabbani. Memang hal ini tdk terjadi pada semua tablighiyyin tapi inilah yg disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka.
Sifat Kelima: Memperbaiki Niat
Tidak diragukan lagi bahwasa memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adl porosnya. Akan tetapi semua membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jamaah Tabligh adl orang2 yg minim ilmu agama mk banyak pula kesalahan mereka dlm merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karena engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yg dibangun di atas kuburan.
Sifat Keenam: Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah subhanahu wata’ala
Cara merealisasikan adl dgn menempuh khuruj bersama Jamaah Tabligh empat bulan utk seumur hidup 40 hari pada tiap tahun tiga hari tiap bulan atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dgn menetap pada suatu daerah dan yg kedua dgn cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yg lain. Hadir pada dua majelis ta’lim tiap hari majelis ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yg kedua diadakan di rumah. Meluangkan waktu 25 jam tiap hari utk menjenguk orang sakit mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi membaca satu juz Al Qur’an tiap hari memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore membantu para jamaah yg khuruj serta i’tikaf pada tiap malam Jum’at di markas. Dan sebelum melakukan khuruj mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa konsep berdakwah yg disampaikan oleh salah seorang anggota jamaah yg berpengalaman dlm hal khuruj.
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan Allah adl khuruj utk berperang. Adapun apa yg sekarang ini mereka sebut dgn khuruj mk ini bid’ah. Belum pernah ada dari salaf tentang keluar seseorang utk berdakwah di jalan Allah yg harus dibatasi dgn hari-hari tertentu. Bahkan hendak berdakwah sesuai dgn kemampuan tanpa dibatasi dgn jamaah tertentu atau dibatasi 40 hari atau lbh sedikit atau lbh banyak.”
Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah akan tetapi berdakwah kepada Muhammad Ilyas syaikh mereka yg ada di Banglades .
Aqidah Jamaah Tabligh dan Para Tokohnya
Jamaah Tabligh dan para tokoh merupakan orang2 yg sangat rancu dlm hal aqidah1. Demikian pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi merupakan kitab yg penuh dgn kesyirikan bid’ah dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dlm masalah aqidah adalah2:
1. Keyakinan tentang wihdatul wujud .
2. Sikap berlebihan terhadap orang2 shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu ghaib.
3. Tawassul kepada Nabi dan juga kepada selain serta berlebihan mereka dlm hal ini.
4. Keyakinan bahwa para syaikh sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni .
5. Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara ghaib atau batin.
6. Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dgn mengikuti tarekat Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi . Oleh krn itu Muhammad Ilyas sang pendiri Jamaah Tabligh telah membai’at di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H bahkan terkadang ia bangun malam semata-mata utk melihat wajah syaikh tersebut.
7. Saling berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah Naqsyabandiyyah Qadiriyyah dan Sahruwardiyyah.
8. Keyakinan tentang keluar tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau utk berjabat tangan dgn Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i.
9. Kebenaran suatu kaidah bahwasa segala sesuatu yg menyebabkan permusuhan perpecahan atau perselisihan -walaupun ia benar- mk harus dibuang sejauh-jauh dari manhaj Jamaah.
10. Keharusan utk bertaqlid .
11. Banyak cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu di dlm kitab Fadhail A’mal mereka di antara apa yg disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dlm kitab Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah hal. 46-47 dan hal. 50-52. Bahkan cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yg mereka jadikan sebagai bahan utama utk berdakwah. Wallahul Musta’an.
Fatwa Para Ulama Tentang Jamaah Tabligh
1. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Siapa saja yg berdakwah di jalan Allah bisa disebut “muballigh” artinya: walaupun hanya satu ayat} akan tetapi Jamaah Tabligh India yg ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat bid’ah dan kesyirikan. mk dari itu tdk boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yg berilmu yg keluar bersama mereka dlm rangka mengingkari dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj semata ikut dgn mereka mk tdk boleh”.
2. Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Semoga Allah merahmati Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz krn jika mereka mau menerima nasehat dan bimbingan dari ahlul ilmi mk tdk akan ada rasa keberatan utk khuruj bersama mereka. Namun kenyataan mereka tdk mau menerima nasehat dan tdk mau rujuk dari kebatilan mereka dikarenakan kuat fanatisme mereka dan kuat mereka dlm mengikuti hawa nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasehat dari ulama niscaya mereka telah tinggalkan manhaj mereka yg batil itu dan akan menempuh jalan ahlut tauhid dan ahlus sunnah. Nah jika demikian permasalahan mk tdk boleh keluar bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yg berdiri di atas Al Qur’an dan As Sunnah dlm hal tahdzir terhadap ahlul bid’ah dan peringatan utk tdk bergaul serta duduk bersama mereka. Yang demikian itu dikarenakan termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka dlm menyebarkan kesesatan. Ini termasuk perbuatan penipuan terhadap Islam dan kaum muslimin serta sebagai bentuk partisipasi bersama mereka dlm hal dosa dan kekejian. Terlebih lagi mereka saling berbai’at di atas empat tarekat sufi yg pada terdapat keyakinan hulul wihdatul wujud kesyirikan dan kebid’ahan”.
3. Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata: “Bahwasa organisasi ini tdk ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia sebagai organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka mk benar-benar kami dapati kesesatan bid’ah ajakan kepada peribadatan terhadap kubur-kubur dan kesyirikan sesuatu yg tdk bisa dibiarkan. Oleh krn itu -insya Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan kebatilannya”.
4. Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Jamaah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga berkata: “Dakwah Jamaah Tabligh adl dakwah sufi modern yg semata-mata berorientasi kepada akhlak. Adapun pembenahan terhadap aqidah masyarakat mk sedikit pun tdk mereka lakukan krn -menurut mereka- bisa menyebabkan perpecahan”. Beliau juga berkata: “Maka Jamaah Tabligh tidaklah mempunyai prinsip keilmuan yg mana mereka adl orang2 yg selalu berubah-ubah dgn perubahan yg luar biasa sesuai dgn situasi dan kondisi yg ada”.
5. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrazzaq ‘Afifi berkata: “Kenyataan mereka adl ahlul bid’ah yg menyimpang dan orang2 tarekat Qadiriyyah dan yg lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah akan tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah akan tetapi kepada Muhammad Ilyas syaikh mereka di Bangladesh ”.
Demikianlah selayang pandang tentang hakikat Jamaah Tabligh semoga sebagai nasehat dan peringatan bagi pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ila Aqwamith Thariq.
Sumber: www.asysyariah.com

hukum khuruj landasan jamaah tabligh latar belakang jamaah tabligh hukum khuruj membongkar kesesatan jamaah tablig

Jumat, 29 Juli 2011

Definisi Bid’ah

Nabi Muhammad saw. bersabda : “.. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsat, ( yang baru ) karena sesungguhnya semua muhdatsat itu bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka“.
Apabila orang yang belum memahami makna bid’ah dengan benar, sehingga tidak jarang mereka terjebak dalam perselisihan Bid’ah secara bahasa ( etimologis ) mengandung arti : sebuah perkara baru yang diadakan atau diciptakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu.
Menurut Imam Syafi’i bid’ah terbagi dua macam, yaitu bid’ah hasanah ( baik ) dan bid’ah sayyi’ah (buruk ) Hal baru yang bertentangan dengan Al Qur’an, Sunah, Atsar maupun Ijma, inilah bid’ah yang sesat.
Segala hal baru yang baik dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunah, Atsar maupun Ijma. Hal baru ini merupakan bid’ah yang tidak tercela. Bid’ah merupakan sebuah kata yang tidak asing bagi kita semua.
Berhubungan dengan banyak hal dalam agama Islam . Dalam memahami Hadist di atas diperlukan penafsiran. Sesungguhnya tidak semua ayat Al Qur’an atau Hadist dapat diartikan secara langsung sesuai dengan makna lahiriahnya atau teks yang tertulis.
Dalam Hadist tersebut Rasulullah saw. tidak menjelaskan hal baru apa yang sesat, beliau menyatakan semuanya sesat. Sehingga jika Hadist tersebut dipahami secara langsung dan tidak ditafsirkan, semua hal baru dalam permasalahan dunia maupun agama adalah sesat dan pelakunya masuk Neraka.
Dalam Hadist di atas Rasulullah saw. menyatakan bahwa :” kullu bid’atin dholalatun “ yang jika diterjemahkan secara tekstual ( sesuai makna lahiriahnya ) akan berarti semua bid’ah adalah sesat.
Benarkah kata “kullu” selalu berarti “semua” ?
Dalam Al Qur’an terdapat beberapa kata “kullu” yang kenyataannya tidak berarti “semua” .
Dalam surat Al Ahqof ayat 25 , Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لا يُرَى إِلا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
“ (angin) yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.”
Dalam ayat di atas Allah menggambarkan bagaimana angin menghancurkan segala-galanya sehingga orang-orang kafir tersebut terkubur di dalam Bumi. Walaupun disebutkan bahwa angin tersebut menghancurkan “Kulla syai’in “ ( segala sesuatu ) ternyata rumah orang-orang kafir tersebut tidak hancur.
Ini membuktikan bahwa kata “Kullu” tidak selalu berarti : Semua ! dalam ayat di atas , rumah orang-orang kafir yang tidak hancur tersebut merupakan salah satu pengecualian.
Demikian pula dalam Hadist : “ Kullu bid’atin dholalatun” terdapat sesuatu yang dikecualikan.
Dalam Hadist yang lain Rasulullah saw bersabda : “ Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya ( agama ), maka dia tertolak “ (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Kalimat :” Yang tidak bersumber darinya ( agama )” inilah kalimat yang menjelaskan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat !
Berdasarkan Hadist di atas maka Hadist “ Kullu bid’atin dholalatun “ dapat diartikan sebagai berikut : Semua bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al Qu’an dan Hadist”
Dalam Hadist di atas disebutkan “ Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah dholalah ( yang sesat ) ” Hal ini menunjukan bahwa tidak semua bid’ah sesat. Seandainya semua bid’ah sesat, tentunya Rasullullah saw. akan langsung berkata : “ Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah,” dan tidak akan menambahkan kata “Dholalah” dalam sabdanya.
Dengan menyebut kalimat “ Bid’ah dholalah ( yang sesat ) “, maka logikanya ada bid’ah yang tidak dholalah ( yang tidak sesat ) Dalam Hadist : Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah ( agama ) kami ini, yang tidak bersumber darinya ( agama ), maka ia tertolak.
Kalimat “ Yang tidak bersumber darinya ( agama ), merupakan bukti bahwa tidak semua yang baru itu sesat. Hanya hal baru yang tidak bersumber dari agama sajalah yang sesat. Jadi kesimpulannya, selama hal baru tersebut bersumber dari Al Qur’an atau Hadist

Pernyataan Para Imam Muhaddits dan Ulama Tentang Kekufuran Orang Yang Menetapkan Tempat Bagi Allah

Berikut ini adalah adalah pernyataan para ulama Ahlussunnah dalam menetapkan kekufuran orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada tempat dan arah, seperti mereka yang menetapkan arah atas bagi-Nya, atau bahwa Dia berada di langit, atau berada di atas arsy, atau mereka yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat.
Berikut nama ulama Ahlussunnah dengan pernyataan mereka di dalam karyanya masing-masing yang kita sebutkan di sini hanya sebagian kecil saja.
• Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi (w 150 H), atau yang lebih dikenal sebagai Imam Hanafi Imam agung perintis madzhab Hanafi, dalam salah satu karyanya berjudul al-Fiqh al-Absath menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada di langit telah menjadi kafir. Al-Imâm Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Barangsiapa berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah ia berada di langit atau berada di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas arsy, dan saya tidak tahu apakah arsy berada di langit atau berada di bumi?!” (al-Fiqh al-Absath, h. 12 (Lihat dalam kumpulan risalah al-Imâm Abu Hanifah yang di-tahqiq oleh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari)
• Pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas lalu dijelaskan oleh al-Imâm asy-Syaikh al-Izz ibn Abd as-Salam (w 660 H) dalam karyanya berjudul Hall ar-Rumuz sekaligus disepakatinya bahwa orang yang berkata demikian itu telah menjadi kafir, adalah karena orang tersebut telah menetapkan tempat bagi Allah. Al-Imâm al-Izz ibn Abd as-Salam menuliskan:
“Hal itu menjadikan dia kafir karena perkataan demikian memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat, dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka dia adalah seorang Musyabbih (Seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari dalam kitab Syrah al-Fiqh al-Akbar, h. 198).
• Pemahaman pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imâm al-Izz ibn Abd as-Salam telah dikutip pula oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari’ (w 1014 H) dalam karyanya Syarh al-Fiqh al-Akbar sekaligus disetujuinya. Tentang hal ini beliau menuliskan sebagai berikut:
“Tidak diragukan lagi kebenaran apa yang telah dinyatakan oleh al-Izz Ibn Abd as-Salam –dalam memahami maksud perkataan al-Imâm Abu Hanifah–, beliau adalah ulama terkemuka dan sangat terpercaya. Dengan demikian wajib berpegang teguh dengan apa yang telah beliau nyatakan ini” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198).
• Al-Imâm al-Hâfizh al-Faqîh Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam risalah akidahnya; al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, yang sangat terkenal sebagai risalah akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, menuliskan sebagai berikut:
“Barangsiapa mensifati Allah dengan satu sifat saja dari sifat-sifat manusia maka orang ini telah menjadi kafir” (Lihat matan al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah).
• Salah seorang sufi terkemuka, al-‘Arif Billah al-Imâm Abu al-Qasim al-Qusyairi (w 465 H) dalam karya fenomenalnya berjudul ar-Risalah al-Qusyairiyyah menuliskan sebagai berikut:
“Aku telah mendengar al-Imâm Abu Bakr ibn Furak berkata: Aku telah mendengar Abu Utsman al-Maghribi berkata: Dahulu aku pernah berkeyakinan sedikit tentang adanya arah bagi Allah, namun ketika aku masuk ke kota Baghdad keyakinan itu telah hilang dari hatiku.
Lalu aku menulis surat kepada teman-temanku yang berada di Mekah, aku katakan kepada mereka bahwa aku sekarang telah memperbaharui Islamku” (ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 5).
• Teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah al-Imâm Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah menuliskan sebagai berikut:
“Allah telah menafikan keserupaan antara Dia sendiri dengan segala apapun dari makhluk-Nya. Dengan demikian pendapat yang menetapkan adanya tempat bagi Allah adalah pendapat yang telah menentang ayat muhkam; yaitu firman-Nya: “Laysa Kamitslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11).
Ayat ini sangat jelas pemaknaannya dan tidak dimungkinkan memiliki pemahaman lain (takwil). Dan barangsiapa menentang ayat-ayat al-Qur’an maka ia telah menjadi kafir. Semoga Allah memelihara kita dari kekufuran” (Tabshirah al-Adillah Fi Ushuliddin, j. 1, h. 169).
• Asy-Syaikh al-‘Allâmah Zainuddin Ibn Nujaim al-Hanafi (w 970 H) dalam karyanya berjudul al-Bahr ar-Ra-iq Syarh Kanz ad-Daqa-iq berkata:
“Seseorang menjadi kafir karena berkeyakinan adanya tempat bagi Allah. Adapun jika ia berkata “Allah Fi as-Sama’” untuk tujuan meriwayatkan apa yang secara zhahir terdapat dalam beberapa hadits maka ia tidak kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan tempat bagi Allah maka ia telah menjadi kafir” (al-Bahr ar-Ra-iq Syarh Kanz ad-Daqa-iq, j. 5, h. 129).
• Asy-Syaikh al-‘Allâmah Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 974 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhaj al-Qawim ‘Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al-Imâm Ahmad dan al-Imâm Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa orang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir.
Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian” (al-Minhaj al-Qawim ‘Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224).
• Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan di atas, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari menuliskan sebagai berikut: “Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 215).
Masih dalam kitab yang sama, Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja.
Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman yang ada pada dirinya” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 271-272).
Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, Syaikh Ali Mulla al-Qari’ menuliskan sebagai berikut:
“Bahkan mereka semua –ulama Salaf– dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi.
Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik, al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-Baqillani” (Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, j. 3, h. 300).
• Asy-Syaikh al-‘Allâmah Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam karyanya berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imâm, sebuah kitab akidah dalam menjelaskan perkataan-perkataan al-Imâm Abu Hanifah, menuliskan sebagai berikut:
“Beliau (al-Imâm Abu Hanifah) berkata: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi maka orang ini telah menjadi kafir”.
Hal ini karena orang yang berkata demikian telah menetapkan tempat dan arah bagi Allah. Dan setiap sesuatu yang memiliki tempat dan arah maka secara pasti ia adalah sesuatu yang baharu –yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada tempat dan arah tersebut–.
Pernyataan semacam itu jelas merupakan cacian bagi Allah. Beliau (al-Imâm Abu Hanifah) berkata: “Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas arsy, namun saya tidak tahu arsy, apakah berada di langit atau berada di bumi”.
Hal ini karena orang tersebut telah menetapkan adanya tempat bagi Allah, menetapkan arah, juga menetapkan sesuatu yang nyata-nyata sebagai kekurangan bagi Allah, terlebih orang yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas, atau menfikan keagungan-Nya, atau menafikan Dzat Allah yang suci dari arah dan tempat, atau mengatakan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya. Dalam hal ini terdapat beberapa poin penting:
Pertama: Orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah bentuk yang memiliki arah maka orang ini sama saja dengan mengingkari segala sesuatu yang ada kecuali segala sesuatu tersebut dapat diisyarat -dengan arah- secara indrawi.
Dengan demikian orang ini sama saja dengan mengingkari Dzat Allah yang maha suci dari menyerupai makhluk-Nya. Oleh karena itu orang semacam ini secara pasti adalah seorang yang telah kafir. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas.
Kedua: Pengkafiran terhadap orang yang menetapkan adanya keserupaan dan tempat bagi Allah. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas, dan ini berlaku umum.
Artimya yang menetapkan keserupaan dan tempat apapun bagi Allah maka ia telah menjadi kafir-. Dan ini pula yang telah dipilih oleh al-Imâm al-Asy’ari, sebagaimana dalam kitab an-Nawzdir ia (al-Imâm al-Asy’ari) berkata:
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah benda maka orang ini tidak mengenal Tuhannya dan ia telah kafir kepada-Nya”. Sebagaimana hal ini juga dijelaskan dalam kitab Syarh al-Irsyad karya Abu al-Qasim al-Anshari” (Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imâm, h. 200).
• Asy-Syaikh al-‘Allâmah Abd al-Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam karyanya berjudul Fath ar-Rabbani Wa al-Faydl ar-Rahmani menuliskan sebagai berikut:
“Kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian.
Segala macam bentuk kekufuran kembali kepada tiga macam kufur ini,
at-Tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)
at-Ta’thil (menafikan Allah atau sifat-sifat-Nya)
at-Takdzib (mendustakan)
Adapun at-Tasybîh adalah keyakinan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam pengertian anggota badan, atau bahwa Allah berbentuk seperti si fulan atau memiliki sifat seperti sifat-sifat si fulan, atau bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan dalam akal, atau bahwa Allah berada di langit, atau barada pada semua arah yang enam atau pada suatu tempat atau arah tertentu dari arah-arah tersebut, atau bahwa Allah berada pada semua tempat, atau bahwa Dia memenuhi langit dan bumi, atau bahwa Allah berada di dalam suatu benda atau dalam seluruh benda, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatau dengan suatu benda atau semua benda, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang terpisah dari Allah, semua keyakinan semacam ini adalah keyakinan kufur.
Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atasnya” (al-Fath ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124).
• Asy-Syaikh al-‘Allâmah Muhammad ibn Illaisy al-Maliki (w 1299 H) dalam menjelaskan perkara-perkara yang dapat menjatuhkan seseorang di dalam kekufuran menuliskan sebagai berikut:
“Contohnya seperti orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda atau berkayakinan bahwa Allah berada pada arah. Karena pernyataan semacam ini sama saja dengan menetapkan kebaharuan bagi Allah, dan menjadikan-Nya membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam kebaharuan tersebut” (Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, j. 9, h. 206).
• Al-‘Allâmah al-Muhaddits al-Faqîh asy-Syaikh Abu al-Mahasin Muhammad al-Qawuqji ath-Tharabulsi al-Hanafi (w 1305 H) dalam risalah akidah berjudul al-I’timad Fi al-I’tiqad menuliskan sebagai berikut: “Barangsiapa berkata:
“Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi”; maka orang ini telah menjadi kafir. -Ini karena ia telah menetapkan tempat bagi Allah pada salah satu dari keduanya-” (al-I’timad Fi al-I’tiqad, h. 5).
• Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, sebuah kitab yang memuat berbagai fatwa dari para ulama Ahlussunnah terkemuka di daratan India, tertulis sebagai berikut:
“Seseorang menjadi kafir karena menetapkan tempat bagi Allah. Jika ia berkata Allah Fi as-Sama’ untuk tujuan meriwayatkan lafazh zhahir dari beberapa berita (hadits) yang datang maka ia tidak menjadi kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan bahwa Allah berada di langit maka orang ini menjadi kafir” (al-Fatawa al-Hindiyyah, j. 2, h. 259).
• Asy-Syaikh Mahmud ibn Muhammad ibn Ahmad Khaththab as-Subki al-Mishri (w 1352 H) dalam kitab karyanya berjudul Ithaf al-Ka-inat Bi Bayan Madzhab as-Salaf Wa al-Khalaf Fi al-Mutasyâbihât, menuliskan sebagai berikut:
“Telah berkata kepadaku sebagian orang yang menginginkan penjelasan tentang dasar-dasar akidah agama dan ingin berpijak di atas para ulama Salaf dan ulama Khalaf dalam memahami teks-teks Mutasyâbihât, mereka berkata:
Bagaimana pendapat para ulama terkemuka tentang hukum orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada arah, atau bahwa Dia duduk satu tempat tertentu di atas arsy, lalu ia berkata: Ini adalah akidah salaf, kita harus berpegang teguh dengan keyakinan ini.
Ia juga berkata: Barangsiapa tidak berkeyakinan Allah di atas arsy maka ia telah menjadi kafir. Ia mengambil dalil untuk itu dengan firman Allah: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” (QS. Thaha: 5) dan firman-Nya: “A-amintum Man Fi as-Sama’ (QS. al-Mulk: 16).
Orang yang berkeyakinan semacam ini benar atau batil? Dan jika keyakinannya tersebut batil, apakah seluruh amalannya juga batil, seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya dari segala amalan-amalan keagamaan? Apakah pula menjadi tertolak pasangannya (suami atau istrinya) ?
Apakah jika ia mati dalam keyakinannya ini dan tidak bertaubat dari padanya, ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin?
Kemudian seorang yang membenarkan keyakinan orang semacam itu, apakah ia juga telah menjadi kafir?
Jawaban yang aku tuliskan adalah sebagai berikut:
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan batil, dan hukum orang yang berkeyakinan demikian adalah kafir, sebagaimana hal ini telah menjadi Ijma’ (konsensus) ulama terkemuka.
Dalil akal di atas itu adalah bahwa Allah maha Qadim; tidak memiliki permulaan, ada sebelum segala makhluk, dan bahwa Allah tidak menyerupai segala makhluk yang baharu tersebut (Mukhalafah Li al-Hawadits).
Dan dalil tekstual di atas itu adalah firman Allah: “Laisa Kamitaslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Dengan demikian orang yang berkayakinan bahwa Allah berada pada suatu tempat, atau menempel dengannya, atau menempel dengan sesuatu dari makhluk-Nya seperti arsy, al-kursy, langit, bumi dan lainnya maka orang semacam ini secara pasti telah menjadi kafir.
Dan seluruh amalannya menjadi sia-sia, baik dari shalat, puasa, haji dan lainnya. Demikian pula pasangannya (suami atau istrinya) menjadi tertolak. Ia wajib segera bertaubat dengan masuk Islam kembali -dan melepaskan keyakinannnya tersebut-.
Jika ia mati dalam keyakinannya ini maka ia tidak boleh dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan dipemakaman kaum muslimin. Termasuk menjadi kafir dalam hal ini adalah orang yang membenarkan keyakinan tersebut. -
Semoga Allah memelihara kita dari pada itu semua-. Adapun pernyataannya bahwa setiap orang wajib berkeyakinan semacam ini, dan bahwa siapapun yang tidak berkeyakinan demikian adalah sebagai seorang kafir, maka itu adalah kedustaan belaka, dan sesungguhnya justru penyataannya yang merupakan kekufuran” (Ithaf al-Ka’inat, h. 3-4).
• Al-Muhaddits al-‘Allâmah asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari (w 1371 H), Wakil perkumpulan para ulama Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki menuliskan:
“Perkataan yang menetapkan bahwa Allah berada pada tempat dan arah adalah perkataan kufur.
Ini sebagaimana dinyatakan oleh para Imam madzhab yang empat, seperti yang telah disebutkan oleh al-Iraqi (dari para Imam madzhab tersebut) dalam kitab Syarh al-Misykat yang telah ditulis oleh asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari” (Maqalat al-Kautsari, h. 321).

Penjelasan kesepakatan Ulama tentang kebolehan memakai perhiasan bagi Perempuan

Salah seorang pemuka kaum Wahabi, bernama Nasiruddin al-Albani telah membuat kesesatan dan kekacauan dalam hukum agama. Ia mengharamkan mengenakan perhiasan emas yang berbentuk lingkaran-lingkaran [al Muhallaq seperti cincin, gelang, atau kalung emas] bagi kaum perempuan [7].
Bahkan ia bersikap sombong kepada ulama dalam hal ini, dengan berkata: “Mereka laki-laki dan kita laki-laki”, dimana para ulama telah bersepakat (Ijma’) tentang kebolehan hal tersebut. Di samping menyalahi kesepakatan ulama ia juga telah menyalahi hadits Rasulullah.
Al-Hafizh al-Baihaqi dalam Sunan[8]-nya, setelah mengutip hadits-hadits dan kesepakatan kaum muslimin tentang kebolehan memakai perhiasan emas bagi kaum perempuan, beliau berkata dalam bab yang ia namakan “Bab kutipan hadits-hadits yang menunjukan kebolehannya [perhiasan emas] bagi kaum perempuan”. Di antaranya hadits Abi Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah bersabda:
الحرير والذهب حرام على دكور أمتي حل لإناثهم
(Sutera dan emas diharamkan bagi kaum laki-laki dari umatku, dan halal bagi kaum perempuan mereka).
Al-Baihaqi berkata: “Hadits-hadits yang jelas ini, juga hadits-hadits yang semakna dengan ini, menunjukan tentang kebolehan berhias dengan emas bagi kaum perempuan. Dan dengan ini kami mengambil dalil akan adanya ijma’ ulama tentang kebolehannya, dimana hadits-hadits yang menunjukan keharamannya telah dihapus”. Pernyataan al-Baihaqi ini jelas membatalkan apa yang dinyatakan oleh al-Albani.
Kesepakatan (Ijma’) ulama ini, juga telah dikutip oleh an-Nawawi dalam kitab Majmu’[9]-nya, ia berkata: “Dan dibolehkan bagi kaum perempuan untuk memakai sutera dan berhias dengan perak dan emas dengan ijma’ [ulama], karena adanya hadits-hadits shahih dalam hal itu”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam syarh Shahih al-Bukhari berkata[10]: “Setelah tetapnya ini, maka larangan cincin emas dan larangan memakainya adalah  khusus bagi kaum laki-laki, tidak untuk perempuan. Karena telah ada kesepakatan (ijma’) tentang kebolehan tersebut bagi mereka. Aku katakan: Ibnu Abi Syaibah[11] dari hadits ‘Aisyah telah meriwayatkan bahwa [raja] an-Najasyi memberi hadish kepada Rasulullah berupa perhiasan yang diantaranya cincin dari emas.
Kemudian Rasulullah memanggil Umamah, puteri dari puterinya (puteri Zaenab), seraya berkata: “Berhiaslah dengannya!”. Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah ini, juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya[12].
Apa yang menjadi ijma’ ulama di atas juga dikutip oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, ia berkata[13]: “Mujahid berkata: Dibolehkan bagi kaum perempuan untuk mengenakan emas dan sutera”.
Juga dikutip oleh Abu Bakr al-Jashash al-Hanafi dalam Ahkam al-Qur’an, pada pasal tentang kebolehan memakai emas bagi kaum perempuan. Ia berkata[14]: “Hadits-hadits yang datang dari Rasulullah dan para sahabat tentang kebolehan memakai emas bagi kaum perempuan sangat masyhur.
Ayat al-Qur’an pun jelas menunjukan kebolehan hal tersebut. Prihal kebolehan memakai perhiasan emas bagi kaum perempuan ini telah berlangsung dari semenjak masa Rasulullah dan sahabat  hingga masa kita sekarang ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari. Termasuk dalam hal ini, adanya hadits-hadits ahad yang tidak dapat dibantah menunjukan hal itu”.
Dalam kitab yang sama al-Jashash berkata[15]: ‘Abi al-‘Aliyah dan Mujahid berkata: Dibolehkan bagi kaum perempuan perhiasan emas”.
Setelah keterangan jelas ini, maka apa yang difatwakan al-Albani dalam mengharamkan perhiasan emas bagi kaum perempuan adalah fatwa yang tidak memiliki dasar sama sekali. Fatwa ini menyalahi hadits-hadits nabi serta menyalahi ijma’ ulama.
Fatwa sesat al-Albani tidak hanya dalam hal ini, dialah juga orang yang mengharamkan wudlu dengan lebih dari satu mud air, dan mengharamkan mandi dengan lebih dari lima mud air. Artinya menurut madzhab al-Albani ini, mereka yang memakai air lebih dari ukuran tersebut dalam wudlu dan mandinya adalah orang-orang berlaku dosa dan orang orang-orang sesat.
Apa yang difatwakan al-Albani semacam ini jelas menjadikan agama Allah sebagai suatu kesulitan, padahal Aallah berfirman:
وما جعل عليكم في الدين من حرج (الحج:78)
(Dan tidaklah [Dia Allah] menjadikan bagi kalian dalam agama dari kesulitan).
___________________________________
[7].    Seperti yang ia sebutkan dalam bukunya berjudul “Adab az-Zafaf”.
[8].    As-Sunan al-Kubra (4/142), lihat pula al-Majmu’ karya an-Nawawi (4/442) dan Fath al-Bari (10/317)
[9].    Lihat (4/442)
[10]. Lihat Fath al-Bari (10/317)
[11]. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/194)
[12]. Lihat as-Sunan al-Kubra (4/141)
[13]. Lihat Tafsir al-Qurthubi (16/71-72)
[14]. Ahkam al-Qur’an (3/575)
[15]. Lihat Ahkam al-Qur’an (3/575)

Kehujjahan Ijma

Para ulama Ahlussunnah menyepakati bahwa ijma’ (kesepakatan) para ahli ijtihad adalah perkara yang haq, dan orang yang menyalahinya telah tersesat karena ummat Islam tidak akan bersepakat (bersatu) dalam kesesatan. Telah diriwayatkan dengan sahih bahwa sahabat Abu Mas’ud al Badri –semoga Allah meridlainya-  mengatakan :
” إن الله لا يجمع أمة محمد على ضلالة “  (رواه الحافظ ابن حجر)
Sesungguhnya Allah tidak akan mempersatukan ummat Muhammad di atas kesesatan” (H.R. Ibnu Hajar)
Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas ibn Malik bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :
“إن أمتي لا تجتمع على ضـلالة ، فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسـواد الأعظم “
Maknanya: “Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu atas suatu kesesatan, jadi jika kalian melihat adanya perpecahan bergabunglah dengan jumlah yang mayoritas di antara mereka“.
At-Turmudzi juga meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :
“إن الله لا يجمع أمتي” أو قال: “أمة محمد على ضلالة ، ويد الله مع الجماعة ، ومن شذ شذ إلى النار “
Maknanya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mempersatukan ummat-Ku (atau beliau berkata Ummat Muhammad) di atas kesesatan, Allah senantiasa melindungi al Jama’ah -kelompok mayoritas- dan barang siapa memisahkan diri (dari mayoritas) maka ia akan terpisah di neraka“.
Hadits ini menunjukkan bahwa bersatu (berkumpul)-nya kaum muslimin adalah sesuatu yang menghasilkan kebenaran dan yang dimaksud dengan bersatu-nya kaum muslimin adalah ijma’-nya para ulama’.
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam at-Talkhish al Habir : “Perkataan ar-Rafi’i : Dan ummat Muhammad terpelihara (maksum) dan tidak akan bersatu atas suatu kesesatan. Ini terdapat dalam hadits yang masyhur, memiliki banyak jalur (thariq) yang masing-masing tidak lepas dari kritik.
Di antaranya jalur yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Malik al Asy’ari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
” إن الله أجاركم من ثلاث خلال : أن لا يدعو عليكم نبيكم لتهلكوا جميعا ، وأن لا يظهر أهل الباطل على أهل الحق ، وأن لا يجتمعوا على ضلالة “.
Maknanya : “Sesungguhnya Allah melindungi (menyelamatkan) kalian dari tiga hal : bahwa Nabi kalian tidak akan mendoakan agar kalian musnah semuanya, ahlul bathil tidak akan pernah mengalahkan ahlul haqq dan kalian tidak akan bersatu di atas kesesatan“.
Dalam sanad hadits ini terdapat inqitha’ (keterputusan sanad).
At-Tirmidzi dan al Hakim juga meriwayatkan dari Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
” لا تجتمع هذه الأمة على ضلال أبدا “
Maknanya : “Ummat ini tidak akan bersatu di atas kesesatan, selamanya“.
Dalam hadits ini terdapat Sulaiman ibn Sufyan al Madani, seorang perawi yang dla’if. Al Hakim meriwayatkan beberapa syahid untuk hadits ini.
Mungkin juga digunakan sebagai dalil untuk masalah ini hadits Mu’awiyah yang marfu’ :
“لا يزال من أمتي أمة قائمة بأمر الله لا يضرهم من خذلهم ولا من خالفهم حتى يأتي أمر الله ” أخرجه الشيخان
Maknanya : “Akan senantiasa ada di antara ummat ini golongan yang melaksanakan ajaran Allah dengan sempurna, tidak berbahaya bagi mereka orang yang tidak memperdulikan atau menyalahi mereka hingga tiba hari kiamat“. (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Dalil yang bisa diambil dari hadits ini bahwa dengan adanya kelompok ini yang melaksanakan semua perintah Allah dengan sempurna hingga tiba hari kiamat tidak akan terjadi kesepakatan di atas kesesatan.
Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Yasiir bin ‘Amr, ia berkata : Kami mengantar Ibnu Mas’ud ketika pergi meninggalkan Madinah, Ibnu Mas’ud singgah sebentar di jalan menuju al Qadisiyyah lalu masuk kebun dan buang air, kemudian ia berwudlu’ dan mengusap dua kaos kakinya kemudian keluar dan janggutnya masih menetes air darinya, lalu kami berkata kepadanya : Berilah pesan terpenting bagi kami, karena orang sudah banyak yang terjatuh dalam fitnah  dan kami tidak tahu apakah kami akan bertemu denganmu lagi atau tidak !, Kemudian Ibnu Mas’ud mengatakan :
” اتقوا الله واصبروا حتى يستريح بر أو يستراح من فاجر ، وعليكم بالجماعة فإن الله لا يجمع أمة محمد على ضلالة
Bertakwalah kepada Allah hingga orang yang baik tenang (tidak terganggu) atau orang yang jahat diambil oleh Allah, dan tetaplah bersatu dengan al Jama’ah karena Allah tidak akan menyatukan ummat Muhammad di atas kesesatan”.
Sanad hadits ini sahih, dan hal semacam ini tidak mungkin dikatakan oleh Ibnu Mas’ud dari pendapat pribadinya, malainkan diambil dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam.  Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan jalur lain dari Nu’aym ibn Abi Hind bahwa Abu Mas’ud keluar meninggalkan Kufah, maka beliau mengatakan :
“وعليكم بالجماعة فإن الله لم يكن ليجمع أمة محمد على ضلال “
“Dan tetaplah bersatu dengan al Jama’ah karena Allah tidak akan menyatukan ummat Muhammad di atas kesesatan”.
Ad-Darimi juga meriwayatkan dari ‘Amr ibn Qays secara marfu’ :
” نحن الآخرون ونحن السابقون يوم القيامة “وفي آخره : “وإن الله وعدني في أمتي وأجارهم من ثلاث : لا يعمهم بسنة ، ولا يستأصلهم عدو ، ولا يجمعهم على ضلالة “.
Maknanya : “Kami adalah ummat yang terakhir dan paling awal masuk surga di hari kiamat” , dan di akhir hadits ini : “Dan sesungguhnya Allah berjanji kepadaku untuk ummatku dan melindungi mereka dari tiga hal : tidak terkena kelaparan yang merata, tidak akan dihabisi oleh musuh dan tidak akan disatukan di atas kesesatan”. (H.R. ad-Darimi)
Al Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Dzarr secara marfu’ bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
” اثنان خيـر من واحد وثلاث خيـر من اثنين وأربعة خيـر من ثلاثة ، فعليكم بالجماعة فإن الله عز وجل لن يجمع أمتي إلا على هدى “
Maknanya : “Dua orang lebih selamat dari jika orang sendirian, tiga orang lebih baik dari dua orang dan empat orang lebih baik dari tiga, jadi tetaplah bersatu dengan al Jama’ah karena Allah tidak akan menyatukan ummat-ku kecuali di atas petunjuk dan  kebenaran”.
Kebenaran ijma’ ini juga telah dijelaskan oleh sekian banyak ulama Ahlussunnah dan mereka menegaskan bahwa ijma’ tidaklah khusus terjadi pada masa sahabat saja. Di antara para ulama tersebut adalah al Imam asy-Syafi’i, ath-Thahawi, as-Subki, az-Zarkasyi, al Khathib al Baghdadi, al Asfarayini, Ibnu Amiir al Hajj dan lain-lain.
Bahkan telah dinukil dengan sahih bahwa al Imam Ahmad menukil ijma’ dalam beberapa masalah sebagaimana dinyatakan oleh al Imam Ibnu al Mundzir, al Hafizh Ibn al Jawzi dan lainnya.
Allah ta’ala berfirman :
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غيـر سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيـرا ( (سورة النساء : 115 )
Maknanya: “Dan barang siapa yang menentang Rasulullah setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, maka kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang ia kuasai itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam neraka jahannam. Dan jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali” (Q.S. an-Nisa: 115)
Al Qurthubi mengatakan dalam Tafsir-nya : “Para ulama’ mengatakan tentang ayat ini : ayat ini adalah dalil kebenaran mengikuti ijma’”. Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsir-nya: “Yang dijadikan referensi oleh al Imam asy-Syafi’i dalam berhujjah bahwa ijma’  adalah hujjah yang haram untuk disalahi adalah ayat ini, ini beliau temukan setelah merenung dan berfikir lama. Ini termasuk istinbath yang sangat bagus dan sangat kuat”.

Siapakah Keluarga Su’ud (Dinasti Saudi) ?

Peringatan: Sebelum membaca artikel yang panjang ini, bersihkan hati, lapangkan dada dan dinginkan kepala. Netralkan pikiran dan jiwa dari keberpihakan kepada kelompok sendiri dan biasakan lisan untuk tidak latah menuduh apa yang dikatakan orang sebagai tuduhan dan fitnah sebelum  kita meneliti secara mendalam dan membuka kembali lembaran-lembaran sejarah. Wabillahi taufiq.
Bismillah…
Oleh Alm. Muhammad Sakher diterjemahkan secara bebas oleh  Abdur Rahim Ats-Tsauri dari sebuah naskah berbahasa Arab berjudul Ali Sa’ud, Min Aina? Wa ila Aina ?

Pada tahun 851 H, sekumpulan pria dari Bani Al Masaleekh, yaitu trah dari Kaum Anza, yang membentuk sebuah kelompok dagang (korporasi) yang bergerak di bidang bisnis gandum dan jagung dan bahan makananan lain dari Irak, dan membawanya kembali ke Najd. Direktur korporasi ini bernama Sahmi bin Hathlool.
Kelompok dagang ini melakukan aktifitas bisnis mereka sampai ke Basra, di sana mereka berjumpa dengan seorang pedagang gandum bernama Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe, seorang Yahudi. Ketika sedang terjadi proses tawar menawar, yahudi itu bertanya kepada mereka, “Dari mana Anda berasal?”
Mereka menjawab, ”Dari Kaum Anza, kami adalah keluarga Bani Al-Masaleekh. ”Setelah mendengar nama itu , yahudi itu menjadi gembira dan juga mengakui dia berasal dari kaum keluarga yang sama,tetapi terpaksa tinggal di Basra, Irak. Karena persengketaan keluarga antara bapaknya dan ahli keluarga kaum Anza.
Dia kemudian menyuruh budaknya untuk menaikkan keranjang-keranjang berisi gandum, kurma dan makanan lain ke atas pundak unta-unta milik kabilah itu. Hal ini adalah sebuah ungkapan penghormatan bagi para saudagar Bani Al Masaleekh itu,  dan menunjukkan kegembiraannya karena berjumpa saudara tuanya di Irak.
Mereka adalah sumber pendapatan, relasi bisnis baginya (Yahudi). Mereka adalah para saudagar kaya raya yang sejatinya adalah keturunan Yahudi yang bersembunyikan di balik roman muka Arab dari kabilah Al-Masaleekh.
Apabila rombongan itu hendak bertolak ke Najd, para saudagar Yahudi tersebut meminta izin mereka untuk menemani mereka, kerana dia ingin pergi bersama mereka ke tanah asal mereka Najd. Setelah mendengar tawaran lelaki Yahudi itu, mereka amat berbesar hati dan menyambutnya dengan gembira.
Akhirnya,Yahudi yang sedang taqiyyah alias nyamar itu tiba di Najd dengan pedati-pedatinya. Di Najd, dia mulai melancarkan aksi propaganda tentang sejatinya siapa dirinya melalui sahabat-sahabat, kolega dagang dan saudara sepupunya yang keturunan Bani Al-Masaleekh tadi. Setelah itu, berkumpullah para pendukung dan penduduk Najd.
Tetapi tanpa disangka, dia berhadapan dengan seorang ulama yang menentang doktrin dan fahamnya. Dialah Syekh Saleh Salman Abdullah Al-Tamimi, seorang ulama kharimatik dari distrik Al-Qaseem.
Daerah-daerah yang menjadi lokasi disseminasi dakwahnya sepanjang distrik Najd, Yaman, dan Hijaz. Karena suatu alasan,  Yahudi itu (yang nanti akan melahirkan Keluarga Saud itu) berpindah dari Al Qaseem ke Al Ihsa. Di sana, dia merubah namanya dari Mordakhai menjadi Markhan bin Ibrahim Musa.
Kemudian dia pindah dan menitip di sebuah tempat bernama Dir’iya yang berdekatan dengan Al-Qateef. Di sana, dia memaklumatkan propaganda dustanya, bahwa pedang Nabi Saw. telah direbut sebagai barang rampasan oleh seorang pagan (musyrikin) pada waktu Perang Uhud antara Arab Musyrikin dan Kaum Muslimin.
Katanya “Pedang itu telah dijual oleh arab musyrikin kepada kabilah kaum yahudi bernama Banu Qunaiqa’ yang menyimpannya sebagai harta karun.
Selanjutnya dia mengukuhkan lagi posisinya di kalangan Arab Badwi melalui cerita-cerita dusta yang menyatakan bagaimana Kaum Yahudi di Tanah Arab sangat berpengaruh dan berhak mendapatkan penghormatan tinggi.
Akhirnya, dia diberi suatu rumah untuk menetap di Dlir’iyya, yang berdekatan dengan AL- Qateef. Di  daerah ini ingin dia jadikan sebagai pusat Teluk Persia. Dia kemudian mendapatkan ide untuk menjadikannya sebagai batu loncatan untuk mendirikan kerajaan Yahudi di tanah Arab.
Untuk memuluskan cita-citanya itu ,dia mendekati kaum Arab Badwi untuk memantapkan lagi posisinya, kemudian secara perlahan, dia mensohorkan dirinya sebagai raja kepada mereka.
Kabilah Ajaman dan Kabilah Bani Khaled, yang merupakan penduduk asli Dlir’iyya menjadi risau akan sepak terjang dan rencana busuk keturunan Yahudi itu.
Mereka berencana menantang untuk berdebat dan bahkan ingin mengakhiri hidupnya. Mereka menangkap saudagar yahudi itu dan menawannya, namun dia berhasil meloloskan diri.


RiyadhSaudagar keturunan Yahudi dari Keluarga Mordakhai itu mencari suaka di sebuah ladang bernama Al-Malibeed Gushaiba yang berdekatan dengan Al Arid, sekarang bernama Riyadh.
Dia meminta suaka kepada pemilik ladang tersebut agar menyembunyikan dan melindunginya. Tuan ladang itu sangat simpati lalu memberikannya tempat untuk berlindung.
Tetapi kemudiannya yahudi itu (Mordakhai) hanya tinggal selama sebulan di rumah itu, setelah yahudi itu membantai habis si tuan ladang dan keluarganya.
Sungguh bengis, air susu dibalas dengan air aki campur tuba!!. Mordakhai memang pandai beralibi, dia katakan bahwa mereka semua telah dibunuh oleh pencuri yang menggarong rumahnya.
Dia juga berpura-pura bahwa dia telah membeli ladang tersebut dari tuan tanah sebelum katastropi pembantaian tersebut datang kepada mereka! Setelah merampas tanah tersebut, dia menamakannya Al-Dlir’iyya, sebuah nama yang sama dengan tempat yang pernah dimilikinya.
Keturunan Yahudi bernama Mordakhai itu dengan cepat mendirikan sebuah markas dan ajang rendezvous bernama “Madaffa” di atas tanah yang dirampasnya itu. Di markas ini dia mengumpulkan para pendekar dan jawara propaganda (kaum munafik) yang selanjutnya mereka menjadi ujung tombak propaganda dustanya.
Mereka mengatakan bahwa Mordakhai adalah syekhnya orang-orang keturunan Arab yang disegani. Dia menabuh genderang perang terhadap Syeikh Saleh Salman Abdulla Al-tamimi, musuh tradisinya. Akhirnya, Syeikh Saleh Salman terbunuh di tangan anak buah Mordakhai di Masjid Al-Zalafi.
Mordakhai berhasil dan puas hati dengan aksi-aksinya. Dia berhasil menjadikan Dlir’iyya sebagai pusat kekuasaannya. Di tempat ini, dia mengamalkan poligami, mengawini puluhan gadis, melahirkan banyak anak yang kemudian dia beri nama dengan nama-nama Arab.
Walhasil, kaum kerabatnya semakin bertambah dan berhasil menghegemoni daerah Dlir’iyya di bawah Bendera Dinasti Saud. Mereka acapkali melakukan tindak kriminal , menggalang beragam konspirasi untuk menguasai semenanjung Arab.
Mereka melakukan aksi perampasan dan penggarongan tanah dan ladang penduduk setempat, membunuh setiap orang yang mencoba menentang rencana jahat mereka. Dengan beragam cara dan muslihat mereka melancarkan aksi mereka.
Memberikan suap, memberikan iming-iming wanita dan gratifikasi uang kepada para pejabat berpengaruh di kawasan itu. Bahkan mereka “menutup mulut” dan “membelenggu tangan” para sejarawan yang mencoba menyingkap sejarah hitam dan merunut asal garis keturunan mereka kepada kabilah Rabi’a, Anza dan Al-Masaleekh.
Seorang sejarawan hipokrit “si raja bohong” bernama Mohammad Amin al-Tamimi, kepala perpustakaan Kerajaan Saudi, menulis garis silsilah keluarga Saudi dan menghubungkan silsilah Moordakhai pada Nabi Muhammad Saw.
Untuk kerja kotornya itu, dia dihadiahi uang sebesar 35 ribu pound Mesir dari Kedutaan Arab Saudi di Kairo, Mesir pada tahun 1362 H atau 1943 M yang diserahkan secara simbolis kepada dubes Arab Saudi untuk Mesir, yang waktu itu dijabat oleh Ibrahim Al-Fadel.
Seperti yang telah disebutkan sebelum ini, keluarga Yahudi berasal dari Klan Saud (Moordakhai) mengamalkan ajaran poligami dengan mengawini ratusan wanita arab dan melahirkan banyak anak. Hingga sekarang amalan poligami itu diteruskan praktiknya oleh anak keturunan.
Poligami adalah warisan yang harus dijaga dan diamalkan sebagaimana praktik kakek moyangnya!
Salah seorang anak Mordakhai bernama Al-Maqaran, diarabkan dari keturunan Yahudi (Mack-Ren) dan mendapat anak bernama Mohamad dan seorang lagi bernama Saud, yang merupakan cikal bakal Dinasti Saud sekarang ini.
Keturunan Saud melancarkan kampanye dan propaganda pembunuhan terhadap ketua-ketua kabilah Arab yang berada di bawah kekuasaannya dan mencap mereka sesat, telah meninggalkan ajaran Al-Qur;an, dan menyeleweng dari ajaran Islam. JADI MEREKA BERHAK UNTUK DIBUNUH OLEH KELUARGA SAUDI !!


Raja Abdullah dan Saudara2nyaDalam sebuah buku tentang sejarah Keluarga Saudi hal. 98-101 , ahli sejarah keluarga mereka telah mempopulerkan bahwa Dinasti Saud mendakwa semua penduduk Najd adalah kafir, maka darah mereka adalah halal, mereka berhak dibantai, harta mereka dirampas, wanita mereka dijadikan budak seks.
Seseorang muslim tidak benar-benar Muslim jika tidak mengamalkan ajaran yang berasal dari MOHAMMAD BIN ABDUL WAHAB (seorang Yahudi yang berasal dari Turki).
Ajaran dan doktrinnya memberikan kuasa kepada Keluarga Saudi untuk membumihanguskan kampung-kampung mereka. Mereka membunuh para suami dan anak-anak, merampas para istri, menikam perut wanita hamil, memotong tangan anak mereka dan kemudian membakar mereka !!
Ditambah justifikasi doktrin paham wahabi bagi mereka untuk seenak pusernya sendiri membajak dan merampas harta penentang mereka.
Keluarga Yahudi ini telah melakukan banyak kezaliman dibawah panji ajaran Wahabi yang dicipta oleh Mordakhai untuk menyemai benih kekejaman di hati manusia.
Dinasti Yahudi telah melakukan aksi kebiadaban sejak 1163 H. Sampai-sampai mereka telah menamakan semenanjung tanah Arab dengan nama keluarga mereka (Arab Saudi) sebagai sebuah negara kepunyaan mereka, dan semua penduduk Arab adalah hamba mereka, bekerja keras untuk kemewahan mereka (Keluarga Saudi).
Mereka telah menghakmilikkan semua kekayaan negara tersebut sebagai harta pribadi. Jika ada yang berani mengkritik undang-undang dan peraturan buatan “rezim tangan besi” Dinasti Yahudi tersebut, pihak penguasa tak segan-segan memenggal kepala pengkritik di depan khalayak.
Disebutkan bahwa salah seorang puteri mereka melewati masa liburnya dengan plesiran ke Florida, Amerika Serikat bersama para pembantu dan penasihatnya. Dia menyewa 90 kamar mewah (suite) di Grand Hotel dengan tarif satu juta dolar per-malam!!! Rakyat yang mencoba bersuara memprotes lawatan sang puteri yang jelas-jelas menghamburkan uang Negara akan di tembak mati dan dipenggal kepalanya !!
Beberapa kesaksian bahwa Keluarga Saud merupakan keturunan Yahudii pada tahun 1960, ”Sawt Al Arab” sebuah stasiun TV di Kairo  Mesir dan satu stasiun TV Yaman di Sana`a telah mempublikasikan bahwa Keluarga Saudi adalah keturunan Yahudi.
Raja Faisal Al-Saud pada masa itu tidak dapat menafikan bahwa keluarganya sangat berbaik hati kepada Yahudi. Bahkan di Koran Washington Post, tanggal 17 September 1969 dia menyatakan bahwa “Kami Keluarga Saud adalah saudara Yahudi.
Kami tidak setuju dan menentang siapa saja dan para penguasa di Semenanjung Arab ini yang menunjukkan pertentangan terhadap Yahudi. Kita mestilah hidup bersama mereka dengan kasih sayang. Negara kami (Arab Saudi) juga merupakan cikal bakal dari keturunan Yahudi dan keturunannya telah tersebar ke seluruh dunia. Ini merupakan deklarasi Raja Faisal Al-Saud bin Abdul Aziz.


Raja Abdul Aziz bin Saud dan Pres. AS Roosevelt tahun 1945Hafez Wahbi, seorang anggota dewan penasihat Kerajaan Saudi menyatakan dalam bukunya yang bertajuk “Semenanjung Tanah Arab” bahwa Raja Abdul Aziz Al-Saud sebelum meninggal pada tahun 1953 telah menyatakan bahwa ”Ajaran kami (paham wahabi) mendapat tentangan dari seluruh kabilah Arab.
Kakek kami Saud Awal, telah memenjarakan ketua kabilah Matheer. Apabila datang ketua kabilah lainnya yang berkeinginan membebaskan ketua kabilah Matheer, Raja Saud Awal memerintahkan supaya para tentaranya memenggal kepala mereka.
Bahkan Raja Saud Awal mencoba memalukan mereka dengan menjemput mereka untuk diundang makan dari tempat duduk yang dibuat dari daging mangsa yang telah dipenggal, dimana kepala-kepala mereka diletakkan diatas pinggan makanan.
Rombongan tersebut menjadi sadar dan enggan memakan danging saudara mereka, kemudian dia memerintahkan para tentara untuk memenggal kepala rombongan itu juga. Tindak pidana yang sungguh bengis dan tak manusiawi ini dilakukan oleh Raja Saud Awal terhadap manusia-manusia tak berdosa hanya karena mereka menentang kebijakan despotisnya.
Hafez Wahbi menyatakan lebih jelas lagi bahawa Raja Abdul Aziz Al-Saud termasuk salah satu orang yang harus bertanggung jawab dan berkaitan erat dengan drama pembantaian ketua-ketua Kabilah Matheer yang bermaksud menjenguk Faisal Al-Darweesh, salah satu tahanan Raja Saud.
Dia menyeru agar warga dari Kabilah Matheer lainnya mengurungkan maksudnya untuk membebaskan pemimpin mereka, jika mereka bersikukuh mereka akan bernasib sama seperti pemimpinnya, yakni kepala mereka akan dipenggal.
Dia telah membunuh Syekh tersebut dan menggunakan darahnya untuk berwudu` sebelum menunaikan shalat. Kesalahan Faisal Al-Darweesh pada waktu itu adalah mengkritik Raja Abdul Aziz Al-Saud karena Raja Saudi itu bersedia menandatangani sebuah dokumen perjanjian dengan pihak kolonial Inggris, tahun 1922 bertempat di Al-Aqeer. Dokumen perjanjian itu berisi penyerahan Negara Palestina kepada Yahudi.
Inilah politik kebijakan Rezim ini yang masih terus diamalkan oleh Keluarga Yahudi. Kredo gerakan mereka adalah merampas harta kekayaan negara lain, merompak, menipu dan melakukan pelbagai jenis kekejaman, kezaliman dan kekufuran- semua itu dilakukan bekerjasama dengan “agama” yang mereka ciptakan -Wahabi- yang membenarkan pemenggalan kepala penentang mereka.
(Diterjemahkan secara bebas oleh عبدالرحيم الثوري dari sebuah naskah berbahasa Arab berjudul Ali Sa’ud, Min Aina ? wa ila Aina? yang ditulis oleh alm. Muhammad Sakher dan merupakan hasil Penelitian dan Penelusuran Mohammad Sakher, seseorang yang akhirnya dibantai oleh rezim Saudi karena temuannya yang menggemparkan ini).

Adab Masjid

ADAB DI DALAM MASJID
Keutamaan membangun masjid adalah Allah akan membangun sebuah rumah di surga bagi orang yang membangun masjid.
Para ulama mengatakan tentang batasan masjid, yaitu tempat yang ada di dalam tembok masjid dan pintu mesjid bagian dalam adalah masjid.
Dikatakan bahwa firman Allah  yang mengatakan:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.
Maka tidak boleh menisbatkan masjid kepada seseorang mahluk dengan nisbat kepemilikan dan kekhususan, adapun penisbatan masjid dengan nama agar dikenal, maka hal itu tidak apa-apa dan tidak termasuk dalam larangan tersebut.
Nabi  menisbatkan mesjidnya kepada dirinya, seperti yang diterangkan di dalam sebuah  sabdanya: مَسْجِدِي هذَا (masjidku ini), begitu juga beliau menisbatkan masjid Quba’ kepadanya, yaitu Quba’, dan masjid Baitul Maqdis dinisbatkan kepada Iliya’, apa yang telah disebutkan adalah penisbatan nama mesjid kepada selain Allah agar mudah dikenal, semua ini tidak termasuk di dalam larangan di atas.
Orang yang makan bawang putih dan merah harus menjauhi mesjid, berdasarkan hadits Jabir radhiallahu anhu bahwa Nabi bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْبَصَلاً فًلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فيِ بَيْتِهِ
Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah maka hendaklah menjauhi kita” Atau bersabda “Maka hendaklah dia menjauhi masjid kami dan hendaklah dia duduk di rumahnya”.
Dikiaskan kepada bawang merah atau bawang putih segala sesuatu yang berbau busuk yang bisa menyakiti orang yang shalat, namun jika seseorang memakai sesuatu yang bisa mencegah bau yang tidak sedap tersebut dari dirinya seperti memakai pasta gigi dan lainnya, maka tidak ada larangan baginya setelah itu untuk menghadiri mesjid.
Dianjurkan agar segera bergegas menuju masjid, berdasarkan sabda Rasulullah :
الْمُقَدِّمِ لَكَانَتْ قُرْعَة  لِوْ تَعْلَمُوْنَ أَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فيِ الصَّفِ
“Seandainya mereka mengetahui keutamaan shaf pertama, niscaya akan diadakan undian untuk mendapatkannya”.
Dianjurkan berjalan menuju shalat dengan khusyu’, tenang dan tentram. Nabi telah melarang umatnya berjalan menuju shalat secara tergesa-gesa walaupun shalat sudah didirikan.
Abi Qotadah radhiallahu anhu berkata:  Pada saat kami sedang shalat bersama Nabi r, tiba-tiba beliau mendengar suara kegaduhan beberapa orang. Sesudah menunaikan shalat beliau mengingatkan:
مَا شَأْنُكُم؟ قَالُوْا: اِسْتَعْجَلْنَا إِلىَ الصَّلاَةِ. فَقَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوْا, إِذَا أَتَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَعَلَيْكُمْ بِاالسَّكِيْنَةِ  فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
“Apa yang terjadi pada kalian?”. Mereka menjawab: “Kami tergesa-gesa menuju shalat”. Rasulullah menegur mereka: “Janganlah kalian lakukan, apabila kalian mendatangi shalat maka hendaklah berjalan dengan tenang, dan rekaat yang kalian dapatkan shalatlah padanya!, dan rekaat yang terlewat sempurnakanlah !”.
Saat berjalan menuju shalat hendaklah berdo’a dengan mengucapkan:
اَللّهُمَّ اجْعَلْ فيِ قَلْبِي نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي لِسَانِي نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُوْرًا وَاجْعَلْ خَلْفِي نُوْرًا وَأَمَامِي نُوْرًا وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُوْرًا وَمِنْ تَحْتِي نُوْرًا اَللّهُمَّ وَأَعْظِمْ لِي نُوْرًا
“Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dan jadikanlah di dalam lisanku cahaya, dan jadikanlah pada pendengaranku cahaya, dan jadikanlah pada penglihatanku cahaya, dan jadikanlah di sebelah belakangku cahaya dan di hadapanku cahaya, dan jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah, agungkanlah cahayaku!”.
Memasuki masjid dengan mendahulukan kaki kanan dan berdo’a dengan mengucapkan:
اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ اَللّهُمَّ افْتَحْ لِي أََبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Ya Allah curahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah bukakanlah pintu rahmatmu bagiku”.
Mendahulukan kaki kiri saat keluar dari mesjid dan berdo’a dengan mengucapkan:
اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Ya Allah curahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah limpahkanlah karuniaMu kepadaku”.
Menunaikan shalat tahiyatul masjid saat memasuki sebuah mesjid.
Berdasarkan hadits riwayat Abi Qotadah Al-Sulami bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُم ُالْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اَنْ يَجْلِسَ
“Apabila salah seorang di antara kalian memasuki masjid maka hendaklah dia shalat dua rekakat sebelum duduk”. Dan di antara kesalahan yang sering terjadi adalah ditinggalkannya shalat tahiyyatul masjid hanya karena waktu tersebut adalah waktu dilarang mengerjakan shalat sunnah.
Terdapat keutamaan yang besar bagi seorang yang duduk-duduk di masjid untuk menunggu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah:
فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فيِ الصَّلاَةِ مَاكَانَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ واْلمَلاَئِكَةُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ أَحَدِكُمْ مَادَامَ فَِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلىَّ فِيْهِ يَقُوْلُوْنَ: اَللّهُمَّ ارْحَمْهُ الّلهُمَّ اغْفِرْ لَهُ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيْهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ
Apabila seseorang memasuki masjid, maka dia dihitung berada dalam shalat selama shalat tersebut yang menahannya (di dalam masjid), dan para malaikat berdo’a kepada salah seorang di antara kalian selama dia berada pada tempat shalatnya, Mereka mengatakan: “Ya Allah, curahkanlah rahmat kepadanya, ya Allah ampunilah dirinya selama dia tidak menyakiti orang lain dan tidak berhadats”.
Terdapat larangan melingkar di dalam masjid (untuk berkumpul) demi kepantingan dunia semata. Rasulullah  bersabda:
يَأْتِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَحْلِقُوْنَ فيِ مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هُمُوْمُهُمْ إِلاَّ الدُّنْيَا  وَلَيْسَ ِللهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ فَلاَ تُجَاِلسُوْهُمْ
“Akan datang suatu masa kepada sekelompok orang, di mana mereka melingkar di dalam mesjid untuk berkumpul dan mereka tidak mempunyai kepentingan kecuali dunia dan tidak ada bagi kepentingan apapun pada mereka maka janganlah duduk bersama mereka”.
Disunnahkan untuk menjaga masjid dari kegaduhan dan memperbanyak pembicaraan yang sia-sia serta mengangkat suara dengan sesuatu yang dibenci.
Dibolehkan berbaring di mesjid. Dari Abdullah bin Zaid radhiallahu anhu bahwa dia melihat Rasulullah berbaring di mesjid sambil meletakkan salah satu kaki beliau di atas yang lainnya.
Dibolehkan menjulurkan kaki ke arah kiblat, dan menghindari untuk mejulurkan kaki ke arah mushaf demi meghormati kalam Allah dan untuk mengagungkannya.
Diperbolehkan tidur di mesjid, seperti yang dilakukan oleh Ahlis Shuffah di mana mereka tidur di mesjid, dan apabila bermimpi sampai keluar mani maka dia harus segera keluar mesjid untuk mandi janabah dan Ibnu Umar pada masa dirinya masih muda dan membujang tanpa keluarga, dia tidur di masjid di masjid Rasulullah.
Larangan berjual beli di mesjid berdasarkan sabda Rasulullah:
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوْا لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكُمْ
“Jika kalian melihat orang yang berjual beli di mesjid maka ucapkanlah: Semoga Allah tidak memberikan laba bagi jual belimu”. Dan di antara kesalahan yang sering terjadi adalah menaruh iklan jual beli di dalam mesjid.
Dilarang  mengumumkan barang yang hilang di mesjid, berdasarkan sabda Rasulullah:
مَنْ سَمِعَ رَجُلاً يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدْ فَلْيَقُلْ: لاَ رَدَّهَا اللهُ عَلَيْكَ فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهذَا
“Barangsiapa mendengar seseorang yang mengumumkan barangnya yang hilang di mesjid maka katakanlah kepadanya:  Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu karena sesungguhnya mesjid itu tidak dibangun untuk kepentingan ini”.
Boleh mengangkat suara di dalam mesjid untuk kepentingan ilmu dan kebaikan adapun mengangkat suara untuk membuat suasana menjadi gaduh atau yang lainnya tidak diperbolehkan…
Dibolehkan meminta-minta jika dibutuhkan.
Dilarang memasukkan antara jari-jari saat keluar menuju mesjid sebelum melaksanakan shalat, diriwayatkan dari Ka’ab bin Ajroh  bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا تَـوَضَّأ أَحَـدُكُمْ فَأَحْسَـنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ خَـرَجَ عَامِدًا إِلىَ اْلمَسْجِدِ فَلاَ يَشْـبِكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَإِنَّهُ فَي صَلاَةٍ
“Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu’ dan menyempurnakan wudhu’nya kemudian dia keluar menuju shalat secara sengaja maka janganlah dia memasukkan antara jari-jarinya sebab dia sedang berada dalam kondisi shalat”. Dan boleh memasukkan jari-jari tangan sesudah melaksanakan shalat.
Boleh makan dan minum di mesjid, berdasarkan hadits Abdullah bin Al-Harits bin Juz’u Al-Zubaidi, dia menceritakan bahwa kami makan pada masa Rasulullah r roti dan daging di dalam mesjid.
Boleh menyenandungkan puisi yang diperbolehkan di dalam mesjid, sesungguhnya Hassan bin Tsabit radhiallahu anhu menyenandungkan puisi di mesjid di hadapan Rasulullah.
Boleh main tombak atau sejenisnya di mesjid, dari Aisyah radhiallahu anha berkata: “Suatu hari aku melihat Rasulullah berdiri di pintu kamarku sementara orang-orang Habsy bermain-main di mesjid dan Rasulullah  menutupi aku dengan selendangnya saat aku menyaksikan permainan mereka”.
Dilarang keluar dari mesjid setelah dikumandangkannya adzan kecuali karena udzur, berdasarkan hadits riwayat Abi Sya’tsa’ bahwa dia berkata:  “Kami sedang duduk-duduk dengan Abu Hurairah radhiallahu anhu di dalam mesjid lalu seorang mu’adzin mengumandangkan adzan lalu seorang lelaki bangkit keluar dari mesjid, maka Abu Hurairah radhiallahu anhu mengatakan: “Adapun orang ini maka ia telah menyalahi tuntunan Abul Qosim ”.
Di antara kesalahan yang terjadi di mesjid adalah menghiasi mesjid dan memahatnya, berdasarkan hadist Rasulullah :
إِذَا زَوَّقْتُمْ مَسَاجِدَكُمْ وَحَلَّيْتُمْ مَصَاحِفَكُمْ فَالدَّمَارُ عَلَيْكُمْ
“Apabila kalian telah memperindah mesjid kalian dan menghiasi mushaf-mushafmu maka kehancuran telah menimpa kalian”. Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah bersabda:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهىَ النَّاسُ فِي اْلمَسَاجِدِ
“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai manusia berlomba-lomba di dalam (memperindah) mesjid”.
Di antara kesalahan yang sering terjadi adalah shalat di atas hamparan yang diperindah.
Di antara kesalahan yang juga sering terjadi adalah menjadikan mesjid sebagai jalanan untuk lewat, berdasarkan sabda Rasulullah:
لاَ تَتَّخِذُوْا اْلمَسَاجِدَ طُرُقًا إِلاَّ لِذِكْرٍ اَوْ صَلاَةٍ
“Janganlah engkau menjadikan mesjid sebagai jalan untuk lewat kecuali untuk berdzikir dan menunaikan shalat”.
Di antara kesalahan yang terjadi adalah menjadikan suara jam (di dalam mesjid) seperti suara lonceng yang selalu berbunyi secara teratur seperti bunyi lonceng orang-orang Nashrani.
Di antara kesalahan yang sering terjadi, membaca ayat secara nyaring di masjid sehingga mengganggu shalat dan bacaan orang lain.
Sungguh Rasulullah telah melarang orang-orang yang melingkar dalam berkumpul untuk membuat kelompok di dalam masjid karena mereka juga akan keluar dari masjid dengan berkelompok-kelompok mereka masing-masing.
Dari Jabir bin Samuroh, dia berkata: Rasulullah memasuki masjid pada saat adanya kelompok-kelompok sedang berkumpul di dalam mesjid. Lalu Rasulullah rmenegur mereka: “Kenapa saya melihat kalian berkelompok-kelompok?”.
Di antara pelanggaran yang sering terjadi meludah di mesjid. Rasulullah r berdasarkan sabda:
اَْلبُزَاقُ فِي اْلمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَـفَّارَتُـهَا َدفـْنُهَا
“Meludah di mesjid adalah kesalahan dan penghapusnya adalah dengan cara menimbunnya”.
Termasuk sunnah shalat dengan memakai sandal di mesjid. Anas bin Malik t pernah ditanya: Apakah Rasulullah  shalat dengan memakai kedua sandalnya?. Dia menjawab: “Ya”. Dan apabila seseorang memasuki mesjid lalu melepas kedua sandalnya dan tidak shalat dengan memakai keduanya maka hendaklah dia menjadikannya di sebelah kirinya jika dia sendiri di dalam shaf, namun jika dirinya bersama jama’ah lain dalam shalat berjama’ah maka hendaklah dia meletakkannya di antara kedua kakinya berdasarkan hadits:
إِذَا صَلىَّ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَضَعْ نَعْلَيْهِ عَنْ يَمِيْنِهِ وَلاَ يَضَعْهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَتَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِ غَيْرِهِ إِلاَّ أَلاَّ يَكُوْنَ عَنْ يَسَارِهِ أَحَدٌ وَلْيَضَعْهُمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ
“Apabila salah seorang di antara kalian shalat maka janganlah dia meletakkan sandalnya di sebelah kanannya dan jangan pula disebelah kirinya sehingga bertempat di sebelah kanan jama’ah yang lainnya kecuali jika tidak ada seorangpun di sebelah kirinya. Hendaklah dia meletakannya di antara kedua kakinya”.
Tidak lewat di hadapan orang yang sedang shalat, berdasarkan sabda Nabi :
لَـوْيَعْلَمُ اْلمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ اْلمُصَليِّ مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِـفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لًهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya seorang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat mengetahui besar akibat yang harus ditanggunganya, niscaya berhenti selama empat puluh lebih baik baginya dari pada berjalan di hadapannya”.
Dianjurkan bagi orang yang shalat untuk menjadikan sutrah (pembatas) bagi dirinya, berdasarkan hadits:
إِذَا صَلىَّ أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Apabila salah seorang di antara kalian shalat maka hendaklah melaksanakannya di hadapan sutroh dan mendekatlah dengannya”.
Membersihkan mesjid adalah perbuatan yang utama, dan Nabi  menganggap berludah di mesjid sebagai kesalahan dan penebus dosanya adalah menimbunnya, dan hadits yang menerangkan bahwa mahar bidadari adalah membersihkan mesjid adalah hadits yang lemah.
Tidak boleh bagi orang kafir memasuki salah satu Al-Haromaini sekalipun dengan idzin seorang Muslim, dan diperbolehkan bagi Al-Zimmi (Orang kafir yang terikat perjanjian dengan orang muslim) jika orang tersebut diupah untuk membangun keduanya selama tidak ada orang muslim yang bisa mengerjakan pekerjaan tersebut.
Ibnu Muflih rahimahullah berkata: Dan para guru kami berkata: Tidak mengapa dengan apa yang terjadi pada zaman kita, yaitu menutup mesjid di luar waktu-waktu shalat, karena khawatir akan terjadinya pencurian terhadap barang-barang milik mesjid.
Sesungguhnya mesjid-mesjid yang terdapat di dalam rumah (ruang-ruang yang dipergunakan untuk shalat) tidak berlaku padanya hukum mesjid, menurut jumhur ulama oleh karenanya tidak mencegah orang yang junub dan wanita haid untuk masuk di dalamnya.
BEBERAPA ADAB YANG KHUSUS BAGI WANITA SAAT MEMASUKI MESJID
Tidak memakai wangi-wangian atau berhias sehingga bisa mengundang fitnah.
Tidak diperbolehkan bagi wanita yang sedang haid dan nifas untuk tinggal di mesjid, dan boleh bagi wanita yang istihadhah untuk memasuki mesjid bahkan beri’tikaf padanya, namun harus tetap menjaga agar mesjid tidak tercemar dengan najis.
Mereka bershaf di belakang shaf jama’ah pria, dan apabila para wanita berada di tempat shalat yang berbeda maka sebaik-baik shaf mereka adalah yang terdepan