Selasa, 30 Agustus 2011

Ibnu katsir membungkam wahhaby (3) : Tafsir ayat “Yang dilangit (QS. Mulk 16 -17)”

Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.


Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang datang dari para salaf.
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab
A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat “Yang dilangit (QS. Mulk 16 -17)”

Makna firman Allah :
أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
(Al-Mulk:16)
Jawab:
1. Dalam Tafsir Ibnu Katsir (juz 4, halaman 511 -512, maktabah darussalam riyadh) Lihat yang diline merah :
Tarjamah : Dan pada ayat ini lagi dari kelembutan-Nya dan rahmat-Nya kepada makhluqnya sesungguhnya Allah berkuasa mengadzab mereka (orang kafir) dengan sebab kekafiran sebagian mereka terhadap Allah dan dengan sebab beribadahnya mereka kepada selain Allah, dan Dia (Allah) bersama (Azab) itu kesabaran Allah  dan Allah memaafkan dan memudahkan dan menangguhkan  (Azab) dan tidak mencepatkan (azab) seperti apa yang difirmankan Allah [


[35:45] Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun  akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. (FAATHIR (PENCIPTA) ayat 45)]  Dan Allah  berfirman  di ayat ini [

a-amintum man fii alssamaa-i an yakhsifa bikumu al-ardha fa-idzaa hiya tamuuru
[67:16] Apakah kamu merasa aman terhadap  yang Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?,]

maksudnya mengadzabnya dan mendatangkan  dan menggoncangkan bumi

am amintum man fii alssamaa-i an yursila ‘alaykum hasiban fasata’lamuuna kayfa nadziiri
[67:17] atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?]
maksudnya angin di dalamnya batu-batu  yang akan mengenai kalian “
Tidak pernah Ibnu katsir menafsirkan bhawa dzat Allah di langit seperti yang didakwa kaum musyabihah mujasimmah wahhaby !!
2. Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith  dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi )
Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu
Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan:
“Yang  dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah malaikat”.
Ayat  tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit.
Perkataan ‘man’ iaitu ‘siapa’ dalam ayat tadi bererti malaikat bukan bererti Allah berada dan bertempat  dilangit.  Ia berdasarkan kepada ulama Ahli Hadith yang menjelaskannya iaitu Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi dalam Kitab Amali  bahawa “Perkataan ‘siapa’ pada ayat tersebut bererti malaikat”.

Kemudian, yang berada dilangit dan bertempat dilangit bukanlah Allah tetapi para malaikat berdasarkan hadith Nabi bermaksud: “ Tidaklah di setiap langit itu kecuali pada setiap empat jari terdapat banyak para malaikat melakukan qiyam, rukuk atau sujud ”. Hadith Riwayat Tirmizi.
Ketahuilah bahawa tempat tinggal para malaikat yang mulia adalah di langit pada setiap langit penuh dengan para malaikat manakala bumi terkenal dengan tempat tinggal manusia dan jin. Maha suci Allah dari bertempat samaada di langit mahupun di bumi.
Banyak hadis dan ayat yang menyebutkan man fissamawati (yang dilangit), penduduk langit dan sebagainya, tapi itu semua adalah para malaikat. Seperti dalamsurat al-ra’du ayat 15 (ayat sajadah) :
“walillahi yasjudu man fissamawati wal’ardhi thau’an wa karhan wa dhilaaluhum bil ghuduwwi wal aashaal”
artinya : “Apa yang di langit dan Bumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau atau tidak mau, demikian juga bayang-bayang mereka diwaktu pagi dan petang (QS arra’du ayat 15)
Dalam Tafsir jalalain (halaman 201, darul basyair, damsyik) :
“Apa yang di langit (man fisamawati) dan Bumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau” (adalah seperti orang beriman) “atau tidak mau” (sperti orang munafiq dan orang yang ditakut-takuti (untuk sujud)  dengan pedang).
Dalam kitab ihya ulumuddin (jilid I, bab Kitab susunan wirid dan uraian menghidupkan malam) ayat ini merupakan salah satu wirid yang dibaca pada pada waktu petang.
3. Dalam Tafsir qurtubi
Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama bila mentafsirkan ayat tersebut. Sekiranya ingin dimaksudkan dari perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tadi itu adalah ‘Allah’ maka tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit kerana Allah tidak memerlukan langit tetapi memberi erti ‘kerajaan Allah’ BUKAN ‘zat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya.

4. Dalam tafsir jalalain ((penerbit darul basyair, damsyiq,halaman 523)

Imam suyuthi rah mengatakan :
“Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthonihi wa qudratihi )
jadi yang dilangit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthonihi wa qudratihi ) bukan dzat Allah

sehingga penafsiran yang betul (dalam tafsir jalalain dan qurtubi) :
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Apakah kamu merasa aman dengan Allah yang di langit (kekuasaan dan qudratnya) bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?, (Al-Mulk:16)
أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
atau apakah kamu merasa aman dengan Allah yang di langit (kekuasaan dan qudratnya bukan dzat-Nya) bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? (Al-Mulk:17).
B. Hadis tentang isra mi’raj dan “Langit ” sebagai Kiblat Do’a Bukan “Tempat bersemayam dzat Alah”
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).
Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arahpenjuru tersebut”.
Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).
Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah maksud dari mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi
Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud mi’raj adalah memuliakan Rasulullah shalalllahu ‘alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al Isra ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam sehingga jarak antara keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang mendekat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam di saat mi’raj adalah Jibril ‘alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al
Bukhari (W. 256 H) dan lainnya dari as-Sayyidah ‘Aisyah -semoga Allah meridlainya-, maka wajib dijauhi kitab Mi’raj Ibnu ‘Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas karena keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepadanya.
Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah
berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat.
Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al Imam al Mutawalli (W. 478 H) dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali (W. 505 H) dalam kitabnya Ihya ‘Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi (W. 676 H) dalam
kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki (W.756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi.
Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati
makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’ (konsensus) kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as-
Suyuthi (W. 911 H) dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya, juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al Baghdadi (W. 297 H), al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H), Syekh Abdul Qadir al Jilani (W. 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati, mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah Wahdah al Wujud dan Hulul.
C. Ayat  Mutasyabihat  NAIK


Artinya : Dan kepada-Nya naik (mengetahui-Nya)  perkataan yang baik dan amAlan yang shalih dinaikan (MENERIMA AMALAN SHALIHNYA)
Dalam tafsir Jalalain :  (ilaihi YUSH’ADU kalimuthayyib) ya’lamuhu ,….
Artinya lafadz :  ilaihi YUSH’ADU kalimuthayyib artinya  MENGETAHUINYA,…
(wa ‘amilushalihati yarfa’uhu) YAQBALUHU
Artinya  : menerima amalan baik itu (memberi  pahala/meridhai)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar